Dampak Omnibus Law Sektor Keuangan Terhadap BPR. Oleh : Dr . Elyana Novira SH., MH. 

Riuh rendah  hiruk pikuk menjelang  pesta demokrasi tahun 2024 mungkin telah membuat masyarakat tidak “ngeh” bahwa  Bank Perkreditan Rakyat telah berganti nama menjadi Bank Perekonomian Rakyat. Sama – sama akronimnya adalah BPR. Pada UU Perbankan, yaitu UU No 7 tahun 1992 yang telah dirubah dengan UU No.10  tahun 1998, bank menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Pengertian Bank Perkreditan Rakyat  adalah bank yang menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka , tabungan dan atau bentuk  lainnya yang dipersamakan dengan itu, Sedangkan pada UU No 10 tahun 1998, BPR diberi arti sebagai bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konversional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Berdasarkan  penamaan jenis bank yang mencantumkan kata “rakyat” pada bagian akhir, sudah mengindikasikan BPR adalah bank untuk rakyat Indonesia, terutama tentunya untuk rakyat yang susah untuk mengakses bank karena faktor-faktor agunan yang menjadi masalah utama. Jumlah BPR menurut data OJK per maret 2023 mencapai 1.426, sedangkan jumlah Bank Umum 106. Namun jumlah yang banyak tersebut tidak memberi pertanda BPR tidak mengalami tantangan dan hambatan. Persoalan yang dihadapi berbagai macam, diantaranya permodalan, infrastuktur di daerah, kompetisi, regulasi, risiko serta kuantitas dan kualitas SDM  yang terbatas. Belum lagi tantangan penerapan Good Corporate Governance dan masalah dari nasabah. Padahal BPR merupakan ujung tombak untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi nasional.

Dari sisi kepemilikan, sesuai dengan amanah UU Perbankan, BPR hanya dapat didirikan oleh warga negara Indonesia (WNI), badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia , pemerintah daerah atau dapat dimiliki bersama diantara ketiganya. Pada penjelasan UU Perbankan diuraikan dalam hal BPR dimiliki oleh badan hukum Indonesia maka badan hukum Indonesia dimaksud seluruh pemiliknya adalah warga negara Indonesia. Pengaturan seperti ini sudah terang benderang sebagai bentuk pernyataan tidak boleh ada unsur asing dalam kepemilikan BPR . Namun dengan lahirnya UU No.4 tahun 2023 tentang Pengembangangan dan Penguatan Sektor Keuangan, sebagai Omnibus Law sektor keuangan, maka aturan mengenai kepemilikan asing berubah. Perubahannya yaitu : BPR didirikan oleh (a) warga Negara Indonesia; dan/atau (b) badan hukum Indonesia. Tentunya ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian BPR akan diatur dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan  sebagai peraturan pelaksana. Tapi aturan baru yang tercantum dalam UU No 4 tahun 2023 ini sudah memberikan pesan bahwa BPR akan dapat didirikan oleh asing karena UU No 4 tahun 2023 ini tidak memberikan pembatasan  secara tegas terhadap asing untuk menjadi pendiri BPR. Dengan demikian tentu tidak ada proteksi bagi warga Negara Indonesia agar hanya WNI  yang bisa menjadi pendiri,sekaligus tentunya pemilik BPR.  Bila ditilik dari sisi persoalan permodalan bagi BPR merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi tantangan bagi BPR agar bisa bertahan kokoh sehingga dapat menjadi andalan bagi UMKM di tanah air. Dengan diperbolehkannya  nanti asing menjadi pendiri BPR tentunya masalah permodalan  mungkin akan dapat dipecahkan. Namun apakah karena masalah permodalan BPR yang menjadi penyebab dapat masuknya asing mendirikan BPR ?. Ini menjadi kontradiktif bila kita lihat bermunculannya kerisauan berbagai pihak karena dapat dimilikinya Bank Umum oleh asing,yaitu hingga 99% , terakhir sebagaimana tertuang pada peraturan OJK No.12 tahun 2021 tentang Bank Umum. Kepemilikan pihak asing pada Bank Umum di Indonesia terus meningkat, tetapi perbankan nasional cukup sulit untuk mendirikan cabangnya di luar negeri. (Dian Cahayaningrum,2015).

Tantangan permodalan bagi BPR karena peran penting BPR dalam perekonomian terutama dalam skala lokal sehingga harus memiliki kemampuan yang memadai dalam menyerap risiko. BPR wajib memiliki modal dalam jumlah tertentu. Pada peraturan OJK (POJK) No.5/POJK.03/2015 tentang Kewajiban Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti Minimum BPR , mengatur agar BPR memenuhi modal inti minimum sebesar 6 miliar rupiah paling lambat pada tanggal 31 Desember 2024. Pemenuhan kewajiban modal inti dilakukan antara lain dengan pertumbuhan laba, penambahan modal disetor, penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi) atau pengambilalihan (akuisisi) .Dari sisi nasabah masih banyak yang belum memiliki pengetahuan terkait produk keuangan , serta terkendala dengan pengetahuan teknologi digital. Begitu banyak tantangan namun BPR sebagai bagian dari dunia perbankan tetap diharapkan memiliki peran vital untuk pengembangan perekonomian pada sektor UMKM.

UU No.4 tahun 2023 juga telah merubah nomenklatur BPR, awalnya adalah Bank Perkreditan Rakyat, kemudian menjadi Bank Perekonomian Rakyat. Pengertian Bank Perekonomian Rakyat yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas giral secara langsung.   Kegiatan usaha BPR semakin luas , yaitu antara lain menempatkan dana pada bank lain, meminjam dana dari bank lain, atau meminjamkan dana  kepada bank lain, melakukan kegiatan usaha penukaran valas, melakukan penyertaan modal pada lembaga penunjang BPR sesuai dengan pembatasan yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan, melakukan kerjasama dengan lembaga jasa keuangan lain dan selain lembaga jasa keuangan dalam  pemberian layanan jasa keuangan kepada nasabah.  BPR juga dapat bekerjasama dengan Bank Umum dalam penyaluran kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah bagi UMKM.

Uraian di atas memberikan pemahaman pada kita,  dimungkinkannya BPR dimiliki oleh asaing, dan BPR semakin leluasa melakukan usahanya. Regulasi BPR memang telah mengalami perubahan tetapi setiap peraturan harus dapat dikembalikan pada asasnya, Asas hukum merupakan ratio legis bagi dibentuknya suatu norma hukum, dan asas hukum merupakan “jantungnya” peraturan hukum.  Asas perbankan Indonesia adalah demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian., artinya dalam menjalankan usahanya , perbankan Indonesia harus memperhatikan prinsip – prinsip demokrasi ekonomi yang berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945. Dalam demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila harus dihindarkan persaingan tidak sehat serta pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok dalam berbagai bentuk monopoli yang merugikan masayarakat dan bertentangan dengan cita – cita keadilan sosial. Keinginan DPR dan pemerintah agar BPR mempunyai daya saing dan semakin kuat tentu tidak boleh melupakan asas perbankan,sehingga asas demokrasi ekonomi menjadi “roh” dalam peraturan perundang - undangan perbankan di Indonesia.   

  • 3
  • Perpustakaan Universitas Bunghatta
  • Photo5
  • Photo6
  • Photo3
  • photo4
  • FOTO
  • foto2
Perencanaan Tapak Perumahan / Oleh Ir. Haryani, MTP
Cermin Perkawinan dan Problematika Keluarga / Oleh H.S.M Nasarudin Latif
Membongkar Kerancuan Pikiran Nurcholish Madjid / Oleh Prof Dr Faisal Ismail ,MA
Hukum Perbankan Indonesia : Keterkaitan dengan Berbagai Aspek dari Otoritas jasa keuangan, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan. Dituliskan Oleh : Dr. Elyana Novira, S.H., M.H
Malin Deman. Dituliskan oleh : M Rasyid Manggis diterjemahkan oleh : Joni Syahputra diterbitkan oleh Balai Bahasa Provinsi Sumatera Barat
Rancak Di Labuah. Dituliskan oleh DT Panduko Alam, diterjemahkan oleh : Joni Syahputra, diterbitkan oleh Balai Bahasa Provinsi Sumatera Barat

Free Joomla templates by L.THEME