Rumah Pengasingan Bung Hatta

Rumah Pengasingan Bung Hatta merupakan tempat Mohammad Hatta menjalani hukuman pengasingan sebagai tahanan politik selama 6 tahun (1936–1942) di Banda Naira, kini di Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Ia bersama dengan tokoh nasional lain bernama Sutan Sjahrir juga diasingkan dekat rumah pengasingan Bung Hatta yang sekarang dikenal sebagai Rumah Pengasingan Bung Sjahrir.

Pada tahun 2008, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menetapkan bangunan Rumah Pengasingan Bung Hatta sebagai cagar budaya dari provinsi Maluku dengan SK Menteri Nomor PM.31/PW.007/MKP/2008. Sampai saat ini, bangunan bercat putih yang berlokasi di jalan dr. Rehatta di kawasan Nusantara ini telah menjadi museum sebagai objek wisata sejarah utama di Banda Naira.

Pada tanggal 11 Februari 1936, Bung Hatta dan Bung Sjahrir tiba di pulau Banda Neira untuk diasingkan sebagai tahanan politik oleh pihak kolonial Belanda. Menurut pengakuan putri pertama Bung Hatta, Meutia Hatta menjelaskan alasan pihak kolonial Belanda sengaja mengasingkan mereka di tempat yang indah ini (Banda Neira) agar sikap mereka melunak pada pemerintah akan tetapi usaha itu gagal. Dikarenakan mereka belum mendapatkan rumah sebagai tempat tinggal disana, keduanya memutuskan untuk sementara tinggal di kediaman Iwa Koesoemasoemantri disana.

Seminggu kemudian, mereka memutuskan untuk pindah ke rumah kosong dari seorang tuan tanah (perkenier) dengan harga sewa seharga f.12,50 (setara Rp 70.000) sebulan. Menurut penuturan putri kedua Bung Hatta, Gemala Hatta menuturkan bahwa rumah tersebut diberi harga murah karena sudah lama kosong dan berhantu tetapi ayahnya tidak ambil pusing dan tetap menyewa rumah tersebut. Setelah beberapa bulan akhirnya Bung Sjahrir memutuskan untuk pisah dan tinggal di rumah yang tidak jauh dari rumah pengasingan Bung Hatta yang sekarang dikenal sebagai Rumah Pengasingan Bung Sjahrir. pada tahun 1944 bangunan rumah pengasingan ini dibangun ulang karena hancur dibom oleh sekutu pada masa Perang Dunia kedua.

Di tempat inilah keduanya bertemu dengan seorang tokoh yang nantinya menjadi sejarawan merangkap diplomat kebanggan Banda Neira bernama Des Alwi yang kala itu masih bersekolah kelas 2 di ELS (Europesche Lagere School). Karena kedekatannya, Des Alwi memanggil Bung Hatta dengan sebutan om kacamata dan Bung Sjahrir sampai akhirnya diangkat oleh mereka berdua sebagai anak dan disekolahkan sampai ke luar negeri. Sebelumnya, Bung Hatta diasingkan oleh pihak kolonial Belanda di Boven Digoel, Papua pada tahun 1935 selama setahun. Setelah enam tahun diasingkan disini, Bung Hatta bersama Bung Sjahrir kemudian diasingkan ke Rumah Pengasingan Hatta - Sjahrir di kota Sukabumi, Jawa Barat pada tanggal 1 Februari 1942 dalam rangka mempersiapkan proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Masa pengasingan Bung Hatta dan Bung Sjahrir berakhir pada awal tahun 1942 ketika sebuah pesawat amfibi Catalina datang untuk menjemput mereka berdua. Ketika proses pengangkutan ternyata pesawat kelebihan beban, terpaksa akhirnya Bung Hatta merelakan dua peti buku ditinggal dan dititipkan kepada Des Alwi di Banda Neira.

Pada tahun 1972, setelah tidak lagi menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia, Bung Hatta sempat kembali mengunjungi rumah ini. Ia disambut bagai anak asli dari pulau tersebut. Banyak pula warga yang menangis ketika Hatta pulang kembali ke Jakarta sama seperti ketika waktu Februari 1942 lalu ketika Bung Hatta dan Bung Sjahrir mengakhiri masa pengasingan di sana.

Awalnya rumah pengasingan ini dirawat oleh seorang laki-laki bernama Decky Baadila atas amanat dan bantuan dari Des Alwi yang kerap dipanggil Om Des oleh orang sana. Setelah Decky meninggal pada tahun 1984, tanggung jawab pemeliharaan rumah tersebut akhirnya jatuh pada adik kandung perempuannya yang bernama Emi Baadila yang kerap dipanggil Oma Emi dengan bantuan upah bulanan dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Ternate sebagai biaya penunjang perawatan.

 

sumber : wikipedia.org

  • 3
  • Perpustakaan Universitas Bunghatta
  • Photo5
  • Photo6
  • Photo3
  • photo4
  • FOTO
  • foto2
Perencanaan Tapak Perumahan / Oleh Ir. Haryani, MTP
Cermin Perkawinan dan Problematika Keluarga / Oleh H.S.M Nasarudin Latif
Membongkar Kerancuan Pikiran Nurcholish Madjid / Oleh Prof Dr Faisal Ismail ,MA
Hukum Perbankan Indonesia : Keterkaitan dengan Berbagai Aspek dari Otoritas jasa keuangan, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan. Dituliskan Oleh : Dr. Elyana Novira, S.H., M.H
Malin Deman. Dituliskan oleh : M Rasyid Manggis diterjemahkan oleh : Joni Syahputra diterbitkan oleh Balai Bahasa Provinsi Sumatera Barat
Rancak Di Labuah. Dituliskan oleh DT Panduko Alam, diterjemahkan oleh : Joni Syahputra, diterbitkan oleh Balai Bahasa Provinsi Sumatera Barat

Free Joomla templates by L.THEME