Apa Kabar LPS ?.

Oleh: Dr.Elyana Novira. SH. M.H.

Dosen Fak. Hukum , Univ Bung Hatta.

This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

 

UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK)  telah disahkan pada tanggal 12 Januari 2023. Undang-Undang tersebut merupakan omnibus law sektor keuangan yang diharapkan oleh pemerintah dan DPR menjadi reformasi keuangan. Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengatakan : reformasi sektor keuangan Indonesia merupakan prasyarat untuk membangun perekonomian Indonesia yang dinamis, kokoh, mandiri, sustainable, dan berkeadilan. UU P2SK akan merubah 17 UU terkait sektor keuangan yang telah cukup lama berlaku, misalnya UU Bank Indonesia, UU Perbankan, UU Pasar Modal, UU Perkoperasian, UU Surat Utang Negara, UU Lembaga Penjamin Simpanan (UU LPS) dan lain-lain.

UU P2SK memuat sejumlah perubahan signifikan pada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). LPS dibentuk berdasarkan UU No. 24 Tahun 2004. Dibentuknya LPS memberikan pemahaman Indonesia menganut sistem penjamin simpanan terbatas. Sebelum lahirnya LPS, Indonesia menganut sistim penjaminan penuh (Blanket Guarantee). Keinginan dan kesadaran pemerintah  agar penabung (deposan) harus dilindungi timbul saat terjadi kebangkrutan Bank Summa bulan November2002. Saat tersebut wacana pembentukan LPS sempat muncul tetapi wacana tersebut hilang karena kegaduhan kasus Bank Summa tersenyapkan ketika William Suryadjaya, ayah dari Edward Suryadjaya (sebagai pemilik dan pengendali bank) memberikan “ kekuatan badan” nya / bail out pada Bank Summa. “Pasang badan” ayah terhadap anak menghasilkan turunnya tensi keributan riuh rendahnya perbankan saat tersebut. Wacana pembentukan LPS tidak dapat dibendung lagi, saat Indonesia dihantam krisis pada akhir tahun 1997,awal tahun 1998. Kepanikan masyarakat terutama karena penutupan 16 bank pada 1 November 1997 sehingga terjadi rush atau penarikan dana menyebabkan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan. Langkah cepat dilakukan oleh pemerintah dengan membuat Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keputusan Presiden No. 19 tahun 1998 Tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat.

Terbitnya 2 Keppres tersebut memberi sinyal saat tersebut Indonesia menganut sistim penjaminan secara penuh (blanket guarantee). Kepercayaan masyarakat memang naik kembali, tapi penjaminan yang luas menyebabkan terjadinya moral hazard. Tiga permasalahan utama dihadapi yaitu : (1) ketidakjelasan siapa yang dilindungi, masyarakat penabung (deposan) ataukah banker?, (2) akan selalu muncul ketidak profesionalan dalam pengelolaan bank, tanggung jawab manajemen bank cenderung rendah, (3) risiko kerugian akan cenderung tinggi (Adrian Sutedi,2010). Selain itu tentu menjadi perhatian dan akan terekam dalam sejarah bangsa Indonesia, beban anggaran yang ditanggung pemerintah untuk menyehatkan perbankan (rekap), yang mencapai Rp 650 triliun, turunnya daya beli masyarakat, beban utang luar negeri yang membengkak, sektor riil terpuruk dan akhirnya berujung pada tingginya tingkat pengangguran.

Pasca terbitnya UU P2SK, terdapat   beberapa poin yang menjadi perhatian dalam konteks kedudukan dan kewenangan LPS  :

Pertama. LPS adalah badan hukum, lembaga yang independen , transparan dan akuntabel dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dan bertanggung jawab kepada Presiden (Pasal 2 UU LPS). Makna independen tentu artinya LPS tidak bisa dicampur tangani oleh pihak manapun termasuk oleh pemerintah, jika digunakan istilah  yang  digunakan baru baru ini dalam media masa dalam rangka pemilihan Presiden, maka phrasanya berbunyi : pemerintah tidak bisa ikut cawe-cawe pada LPS. Bahkan dalam arti luas , pihak legilatif pun tidak bisa cawe-cawe dengan tugas dan kewenangan LPS. Namun independensi ini patut dipertanyakan karena pada UU P2SK, bagian ketiga tentang LPS pasal 65 ayat (3) : Anggota Dewan Komisioner dipilih oleh DPR berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh Presiden. Pada ayat (5) dikatakan : pengajuan calon anggota Dewan Komisioner ditetapkan melalui panitia seleksi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Pengaturan ini memperlihatkan campur tangan politik dalam menentukan calon pimpinan (Dewan komisioner) LPS, padahal LPS memiliki peran penting dan kewenangan yang semakin luas.

Kedua. Fungsi LPS bertambah berdasarkan ketentuan pada Pasal 4 UU P2SK, bagian ketiga yaitu fungsi menjamin polis asuransi dan melakukan penyelesaian permasalahan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang dicabut izin usahanya oleh OJK. Sebelumnya fungsi LPS hanya menjamin simpanan nasabah penyimpan pada bank dan turut aktif memelihara stabilitas sistem  perbankan sesuai kewenangannya. Penjaminan polis asuransi dan penyelesaian permasalahan asuransi dan asuransi syariah adalah fungsi baru bagi LPS, padahal karakter antara asuransi dan perbankan tentu berbeda. Bagaimanapun diantara kedua sektor tersebut maka sektor perbankan tetap dominan dalam sistim keuangan di Indonesia. Patut disadari bank mempunyai koneksitas dengan instansi – instansi lain , bank – bank lain dan lembaga – lembaga keuangan lain tidak hanya melakukan penghimpunan dan penyaluran dana.  .

Ketiga.  UU P2SK bagian kedua tentang Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK)  Pasal 4 ayat (3) menguraikan: ketua Dewan Komisioner LPS sebagai anggota mempunyai hak suara. Sebelumnya, berdasarkan UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistim Keuangan (UU PPKSK) , Pasal 4 ayat (3) menegaskan ketua Dewan Komisioner LPS sebagai anggota KSSK tidak mempunyai hak suara. Berbeda dengan Menteri keuangan (anggota KSSK,merangkap ketua) ketua Dewan Komisioner OJK (anggota) dan Gubernur Bank Indonesia (anggota), semuanya mempunyai hak suara pada KSSK. Tugas KSSK cukup besar, diantaranya yaitu melakukan penanganan permasalahan Bank Sistemik dan melakukan koordinasi dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan stabilitas sistem keuangan. LPS mempunyai kewenangan semakin besar yang dapat dilihat dari peran LPS untuk menjalankan program Restrukturisasi Perbankan (PRP) sebagaimana diamatkan oleh UU PPKSK, tetapi ibarat dalam suatu peperangan LPS adalah pertahanan terakhir dalam menghadapi musuh, namun tidak boleh ikut serta dalam mengatur strategi menghadapi musuh (Elyana Novira, Disertasi,2021). Pasca terbitnya UU P2SK maka kedudukan yang setara diberikan kepada LPS sebagai anggota KSSK.

Keempat. Tugas LPS dalam penyelesaian dan penanganan Bank Gagal (bank  resolution). Dari terminologi yang terdapat pada UU LPS dan UU P2SK sudah terdapat perbedaan yaitu pada UU LPS digunakan terminologi Bank Gagal sedengkan pada UU P2SK terminologinya Bank Dalam Resolusi. Pengertiannya sama, (bank yang mengalami kesulitan keuangan, dan membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan tidak dapat lagi oleh OJK sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya), hanya terminologi saja yang berbeda. Timbul pertanyaan, apakah kata “Bank Gagal” sangat menakutkan sehingga perlu diperhalus ? Bank sebagai sebuah perusahaan memiliki risiko default yaitu risiko perusahaan tidak mampu memenuhi kewajiban finansialnya. Sistem perbankan dapat default karena dipicu defaultnya sebuah bank yang menyebabkan bank-bank lain dalam sistem perbankan tersebut ikut terbawa default pula (cascade failure) (Budi Wibowo, Andre Prasetyo,2018).

 Kelima. Beberapa aturan lain yang tidak ada pada UU LPS diantaranya pada UU P2SK, kewenangan LPS untuk nmelakukan pemeriksaan bank, baik sendiri maupun bersama dengan OJK. Sebelunya aturan mengenai pemeriksaan bersama LPS dengan OJK adalah pemeriksaan bersama dilakukan pada periode bank di tetapkan sebagai bank dalam pengawasan intensif. Pengaturan tersebut  ditetapkan pada Peraturan LPS (PLPS) No 3 tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksana Kewenangan LPS Dalam Rangka Melaksanakan Langkah-Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan. Artinya  berdasarkan perubahan dengan UU P2SK maka regulasi mengenai pemeriksaan bersama ditempatkan pada hirarki yang lebih tinggi yaitu yaitu pada peraturan setingkat UU. Penempatan ini memperlihatkan perlunya memberikan kekuatan dan kepastian hukum terhadap tindakan pemeriksaan bersama .

Selanjutnya ditinjau dari perspektif peningkatan likuiditas bank, LPS dapat melakukan penempatan dana pada bank. Sebelum terbitnya UU P2SK, penempatan dana pada bank dalam relevansi pemulihan ekonomi akibat terjadinya covid-19 sebagaimana diamanatkan  pada PLPS No 3 Tahun 2020 . Pada UU P2SK regulasi mengenai penempatan dana diatur pada Pasal 6 ayat (1) huruf L, penempatan dana pada bank dalam penyehatan berdasarkan permintaan dari OJK. Kembali terlihat pengaturan penempatan dana oleh LPS pada bank dalam aturan setingkat UU , mengindikasikan pembentuk UU ingin memberikan kepastian hukum bagi LPS dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.

Keenam. Aturan mengenai pengambilan keputusan telah dihapus  yaitu Pasal  21 ayat (1), (2) dan (3) UU LPS, dengan  UU P2SK bagian ketiga tentang LPS pada Pasal 20 ayat (6). Pasal 21 yang dihapus menguraikan LPS menerima pemberitahuan dari OJK mengenai bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan, LPS melakukan penyelesaian Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik yang diserahkan oleh OJK dan LPS melakukan penanganan Bank Gagal berdampak sistemik yang diserahkan oleh KSSK. Dihapusnya pengaturan tersebut memberi pemahaman , LPS tidak lagi menerima pemberitahuan  dari OJK mengenai penyelesaian Bank Gagal non sistemik ataupun  penanganan oleh LPS berdasarkan keputusan rapat KSSK bagi Bank Gagal sistemik.  Hapusnya pasal mengenai pengambilan keputusan membuat keraguan , apa dasar hukum  LPS menangani Bank Gagal yang tidak dapat disehatkan oleh OJK. Bila aturan  pengambilan keputusan tersebut akan diletakkan pada regulasi di bawah UU yaitu setingkat  PLPS dan POJK, maka tentunya dasar hukumnya menjadi lebih lemah, sedangkan penanganan ataupun penyelesaian Bank Gagal memerlukan dasar hukum yang kuat dan koordinasi diantara berbagai lembaga seperti OJK, BI, LPS dan Menteri Keuangan.  

LPS yang dilahirkan pada tahun 2024 telah berubah menjadi lembaga yang lebih kuat, bertambah kewenangannya, namun independensi nya dapat tergerus , selain itu saat  menjalankan tugas  dalam resolusi bank, maka  LPS  memerlukan landasan hukum yang kuat karena resolusi dilakukan melalui langkah – langkah yang harus diperhitungkan secara teliti,dan dengan  metode yang tepat.

*Tulisan ini sudah diterbitkan Harian Padang Ekspres, Selasa,6 Juni 2023

  • 3
  • Perpustakaan Universitas Bunghatta
  • Photo5
  • Photo6
  • Photo3
  • photo4
  • FOTO
  • foto2
Perencanaan Tapak Perumahan / Oleh Ir. Haryani, MTP
Cermin Perkawinan dan Problematika Keluarga / Oleh H.S.M Nasarudin Latif
Membongkar Kerancuan Pikiran Nurcholish Madjid / Oleh Prof Dr Faisal Ismail ,MA
Hukum Perbankan Indonesia : Keterkaitan dengan Berbagai Aspek dari Otoritas jasa keuangan, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan. Dituliskan Oleh : Dr. Elyana Novira, S.H., M.H
Malin Deman. Dituliskan oleh : M Rasyid Manggis diterjemahkan oleh : Joni Syahputra diterbitkan oleh Balai Bahasa Provinsi Sumatera Barat
Rancak Di Labuah. Dituliskan oleh DT Panduko Alam, diterjemahkan oleh : Joni Syahputra, diterbitkan oleh Balai Bahasa Provinsi Sumatera Barat

Free Joomla templates by L.THEME